Kamis, 19 Juni 2014

contoh dan pengertian (16 text) dalam inggris

BY AMIR

1.      Text report
-          Social function : to describe the way things are with referencce to a range of natural, man-made, and social phenomena in our environment.
-          Generic sructure
a.       General classification
Introduce the participant
b.      Description
Describe the participant in terms of “parts,qualities, behavior/habit” if living things, “usage” if non living things.
c.       Lexicogrammatical sequence
a.       Focus on spesific participant.
b.      Use of material and relational processes.
c.       Use of simple present tense.
d.      No emporal sequence.
            Example          :
Read More ->>

Minggu, 15 Juni 2014

Mengapa Pembelajaran Bahasa Inggris Kita Kalah


Mengapa Pembelajaran Bahasa Inggris Kita Kalah
Pelajaran bahasa Inggris bukanlah sesuatu yang asing di telinga orang Indonesia, bahkan orang tidak sekolahan pun mengenal apa itu bahasa Inggris. Namun, apakah semua orang memahami dengan baik posisi bahasa Inggris di Indonesia beserta pendekatan yang cocok untuk  mengajarkannya?
Sudah sekian lama, pelajaran bahasa Inggris menjadi mata pelajaran wajib dari sekolah hingga perguruan tinggi, bahkan akhir-akhir ini bahasa Inggris menjadi pelajaran wajib di tingkat Sekolah Dasar (SD).  Bahkan, seolah tidak ingin kalah dengan tingkat SD, jenjang pendidikan Taman Kanak-Kanak  (TK) pun ikut serta memberikan pengenalan bahasa Inggris entah alasan dan programmya jelas atau tidak. Sebagai seorang pemerhati pendidikan dan pengajaran bahasa Inggris di Indonesia, saya mengacungi jempol terhadap semua usaha yang telah dicapai untuk membantu anak-anak bisa berbahasa Inggris.
Lepas dari semua bentuk usaha untuk mengajarkan bahasa Inggris di Indonesia, ada suatu hal yang mengganjal dalam pikiran saya: mampukah semua usaha yang dilakukan untuk mengajarkan bahasa Inggris (dari  TK-Perguruan Tinggi) tersebut membuat siswa-siswa Indonesia pandai berbahasa Inggris?  Berdasarkan permasalahan tersebut, saya ingin memberikan pikiran saya terhadap pengajaran bahasa Inggris di Indonesia dalam arti luas dan tidak terbatas batas sekolah-sekolah tertentu. Bukankah pendidikan harus dijalankan secara adil dan merata?
Read More ->>

ISU KRITIS PENDIDIKAN DI INDONESIA

ISU KRITIS PENDIDIKAN DI INDONESIA
Oleh:
Dr. Sukardi Weda, S.S., M.Hum., M.Pd., M.Si.
Dosen UNM & Komisioner KPID Sulsel


Gema reformasi dikumandangkan oleh para mahasiswa dan pemuda di Indonesia tepatnya tahun 1998 yang sempat menelan korban jiwa dan tidak sedikit harta benda yang melayang akibat chaos yang terjadi di sejumlah daerah. Teriakan pembaruan tersebut dilakukan oleh mahasiswa, pemuda, dan elemen bangsa lainnya karena mereka menganggap bahwa penguasa tidak lagi konsisten memperjuangkan amanat rakyat.
Namun setelah 12 tahun teriakan reformasi menggelora, Indonesia kini masih memiliki sejumlah persoalan kebangsaan dan kemasyarakatan yang tidak mudah untuk diselesaikan, baik untuk tingkat regional maupun nasional. Salah satu persoalan yang hingga kini masih mendera bangsa Indonesia adalah isu seputar kebijakan pendidikan. Pendidikan di Indonesia tidak mampu menghasilkan alumni yang siap kerja, para lulusan tidak memiliki kualitas yang dapat diandalkan, para tamatan SMU/SMK dan Perguruan Tinggi tidak memiliki kecerdasaan dan kemampuan kewirausahaan (enterpreneurship), dan para Perguruan Tinggi  gagal merubah perilaku para mahasiswa.  Lulusan SMU/SMK dan Perguruan Tinggi tidak siap memenuhi kebutuhan masyarakat dan dunia kerja.
Di beberapa tempat, Ujian Nasional (UN) masih menyisakan banyak persoalan dari tahun ke tahun, akibat makin menurunnya tingkat kelulusan dan kualitas lulusan (siswa), dan terjadinya banyak penyimpangan oleh kepala sekolah, guru dan siwa dalam UN. Dengan demikian, para lulusan LPTK tersebut yang tidak siap menjadi warga negara yang bertanggungjawab dan produktif, akhirnya hanya jadi beban masyarakat (Arcaro, 2006). Selanjutnya Arcaro mengatakan bahwa para siswa itu adalah produk sistem pendidikan yang tidak terfokus pada mutu, yang akhirnya hanya memberatkan anggaran kesejahteraan sosial, dan pada akhirnya mereka menjadi warga negara yang merasa terasing dari masyarakatnya.
Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia merupakan akumulasi dari sejumlah faktor, antara lain: guru yang tidak berkualitas, fasilitas pendidikan yang kurang mendukung, perpustakaan dan laboratorium yang tidak dilengkapi dengan peralatan yang memadai, kepemimpinan kepala sekolah yang tidak efektif, dan rendahnya minat/motivasi siswa untuk belajar. Pendidikan yang rendah tersebut berimplikasi pada rendahnya kualitas Sumber Daya Manuasia (SDM) Indonesia. SDM yang rendah juga berbanding lurus dengan kemiskinan dan ketidakmakmuran penduduk, yang berujung pada kesengsaraan dan penderitaan rakyat.
Pendidikan yang tidak bermutu hanya menghasilkan manusia yang cerdas dari sisi olah pikir (kognitif), tapi tidak cerdas untuk sisi sosial, emosional, dan spiritualnya (alias perilakunya menyimpang), sehingga yang terjadi adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Mereka hanya memikirkan dan memperkaya diri dan kelompoknya, dan meninggalkan kaum papa yang mengharapkan uluran tangan mereka. Pendidikan yang tidak berkualitas hanya menghasilkan manusia-manusia pintar yang hanya pintar membodohi sesamanyadan cerdas merampok bangsa dan negaranya.

Isu Kritis Mutu Pendidikan di Indonesia
Seperti disebutkan di atas bahwa dewasa ini muncul berbagai isu kritis perihal mutu (layanan) pendidikan di Indonesia. Isu-isu kritis tersebut berada pada tataran mikro, mezo dan makro. Secara Mikro, ada sejumlah isu/persoalan kritis yang muncul di sekolah dalam kaitannya dengan mutu (layanan) pendidikan. Isu-isu tersebut diataranya adalah kualitas, kompetensi dan komitmen guru (tenaga pengajar) yang masih rendah, terbatasnya alat bantu belajar (learning aids) di kelas dan laboratorium, minimnya buku pelajaran dan referensi di perpustakaan, dan rendahnya tingkat kesejahteraan guru. Hal ini diperkuat oleh BPS, BAPPENAS, dan UNDP dalam Weda (2007) bahwa dewasa ini banyak sekolah yang tidak dilengkapi dengan peralatan, dan buku pelajaran yang memadai, bahkan di sekolah dasar tercatat sekitar setengah guru SD yang tergolong tidak berkualitas.
Secara mezo, kemampuan kepala sekolah dalam mengelolah sekolah masih rendah.  Hal ini sejalan dengan pendapat Sagala (2006: 176) bahwa kepala sekolah belum responsif terhadap tuntutan dinamika perubahan yang terjadi, banyak aktifitas sekolah berlangsung by the way bukan by design dengan ciri perencanaan yang memprihatikan. Ukuran keberhasilan sekolah tidak terlepas dari profesionalisme dan kepemimpinan (leadership) kepala sekolah untuk mengelolah sekolah. Ia juga diharapkan dapat menjalin kerjasama, komunikasi dan kordinasi yang baik dengan seluruh stakeholder sekolah, mulai dari stakeholder internal (guru, tenaga administrasi) hingga stakeholder pendidikan yang sifatnya eksternal seperti pemerintah (Dinas Pendidikan), para donor (penyandang dana), komite sekolah, siswa dan orang tua siswa. Dengan demikian, maka akan tercipta sistem manajemen struktural pendidikan dasar yang baik.
Secara makro. Peran pemerintah melalui kebijakannya di bidang pendidikan sangat menentukan keberhasilan pencapaian mutu layanan pendidikan di sekolah. Jumlah dana/anggaran yang dialokasikan kepada pendidikan melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) masih menuai berbagai persoalan. Demikian halnya program pendidikan gratis di sejumlah daerah (sebagai contoh program pendidikan gratis di Sulawesi Selatan) dinilai oleh banyak kalangan tidak dapat menghasilkan pendidikan yang bermutu. Guru mengeluh, kualitas pendidikan terancam, demikian judul tulisan yang dimuat di salah satu halaman harian Fajar bertajuk Menggugat Pendidikan Gratis (Fajar, 13 Oktober 2008). Permasalahan tersebut adalah akibat minimnya dana BOS dan terbatasnya dana dari program pendidikan gratis dari Pemerintah Propinsi dan Daerah, dan keterlambatan penyaluran dana tersebut. Masalah kritis ini berdampak pada kegiatan kesiswaan di sekolah, dan antusiasme guru untuk  mengajar mengalami penurunan karena mereka juga tidak memperoleh tambahan penghasilan yang memadai. ”Yang pasti, setelah program pendidikan gratis ini berjalan, sebulannya kami kehilangan pendapatan hingga Rp. 500 ribu,” keluh salah seorang guru (Fajar, 13 Oktober 2008). Dengan minimnya anggaran pendidikan tersebut, maka seyogyanya pemerintah terus berupaya untuk merealisasikan anggaran pendidikan minimal 20% sehingga mutu layanan pendidikan dapat terwujud, sebagaimana diamanatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Peran Pemerintah dan Civil Society
Untuk mengatasi isu kritis perihal mutu (layanan) pendidikan, maka pihak-pihak terkait antara lain pemerintah,Civil Society, dan seluruh stakeholder di bidang pendidikan perlu bersinergi untuk mencari langkah-langkah strategis pencapaian mutu layanan pendidikan seperti diamanatkan oleh Pasal 31 Amandemen UUD 1945, Pasal 28 Konvensi Hak Anak (KHA), dan Pasal 12 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang sekaligus menjadi arah dan dasar kebijakan pendidikan nasional.
Langkah-langkah yang perlu diambil pada skala mikro adalah peningkatan kualitas tenaga kependidikan, dan peningkatan sarana-prasarana pendukung pembelajaran di sekolah. Pada skala mezo, perlunya penerapan manajemen pendidikan di sekolah berdasarkan prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS) yakni dengan peran serta kepala sekolah, komite sekolah, dan masyarakat dalam bingkai otonomi pendidikan.
Untuk tingkat makro, pemerintah selaku pembuat kebijakan di bidang pendidikan harus memposisikan pendidikan tidak kalah pentingnya dengan bidang-bidang yang lain seperti ekonomi, politik dan lain-lain. Hal ini cukup beralasan karena secara sosiologis, pendidikan merupakan salah satu pranata sosial dan merupakan pilar untuk terciptanya masyarakat madani yang demokratis dan beradab. Dengan demikian, untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, maka isu-isu tentang anggaran pendidikan melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dinilai masih jauh dari harapan, segera ditingkatkan jumlahnya, sehingga sekolah dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan kesiswaan (KBM) dengan baik.
Strategi Mengimplementasikan Peran: Sebuah Agenda Aksi
Strategi yang dapat dilakukan oleh para stakeholder pendidikan, baik guru/dosen, praktisi pendidikan, komite sekolah, dewan pendidikan hingga masyarakat/dunia usaha melalui program tanggung jawab sosial (CSR) untuk berperan serta dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut: i) Menjadi tenaga advokasi dan pendamping dalam dunia pendidikan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan, khususnya tentang mutu pendidikan yang dari hari kehari menampakkan hasil yang kurang menggembirakan, ii) Menjadi mitra pemerintah untuk mencari jalan keluar terhadap persoalan-persoalan pendidikan, baik pada tingkat lokal, regional, maupun nasional, iii) Bersama-sama dengan stakeholder pendidikan lainnya (kepala sekolah, guru, orang tua murid/siswa, anggota komite sekolah, dan masyarakat lainnya) untuk memikirkan solusi alternatif terhadap isu-isu kritis dalam pendidikan, iv) Melakukan kajian-kajian atau telaah kritis, dan hasil kajian atau telaah tersebut disampaikan kepada pengambil kebijakan (pemerintah dan pemerintah daerah), v) Menyelenggarakan pendidikan non formal, pelatihan, workshop,roundatable discussion, seminar, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang dapat meningkatkan kompetensi baik kepada guru maupun siswa, vi) Bekerjasama dengan lembaga lain yang memiliki perhatian, kepedulian,  dan minat yang sama untuk senantiasa memikirkan pendidikan yang bermutu, dan mencari jalan keluar terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa dalam hal mutu pendidikan yang rendah, vii) Memberikan dukungan kepada pemerintah terhadap gerakan-gerakan peningkatan kualitas peserta didik dan masyarakat, seperti Gerakan Membaca, sumbangan buku-buku bekas berkualitas, dan lain-lain, dan viii) Mengambil inisiatif dan memelopori segenap pembaruan dan implementasi kebijakan pendidikan kearah yang lebih baik.

Read More ->>

Tantangan Dunia Pendidikan di Indonesia

Tantangan Dunia Pendidikan di Indonesia

oleh Anies Baswedan
Hak untuk mendapatkan pendidikan termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang mewajibkan pemerintah menyediakan pendidikan yang berkualitas bagi warga negara. Ketetapan itu menjadi prioritas kedua setelah mandat untuk mensejahterakan rakyat. Menunjukkan betapa pentingnya pendidikan bagi negeri ini.
Namun, jarang sekali terdengar perdebatan yang membahas isu-isu mendasar mengenai pendidikan, seperti pemberantasan korupsi di sektor ini, peningkatkan kualitas guru dan upah mereka, serta penerapan sistem akreditasi yang lebih baik. Perdebatan yang ada lebih sering membahas isu-isu yang seharusnya sudah rampung sejak dua atau tiga dekade lalu, seperti apakah murid perlu mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN) atau apakah mereka perlu diajari sains dan matematika sejak sekolah dasar. Nampaknya para pembuat kebijakan di sektor pendidikan selalu memiliki prioritas yang salah.
Dokumentasi Anies Baswedan
Anies Baswedan, tokoh pendidikan dan rektor Universitas Paramadina.
Namun, menentukan prioritas sepertinya bukan keahlian yang dimiliki birokrasi negara ini. Baru belakangan pemerintah memutuskan meningkatkan anggaran sektor pendidikan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji menaikkan anggaran pendidikan sebesar 7,5% untuk tahun 2014. Bahkan setelah kenaikan tersebut, sektor pendidikan masih harus bersaing dengan sektor lainnya untuk mendapat alokasi anggaran yang lebih besar. Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pekerjaan Umum memperoleh anggaran yang lebih besar dibandingkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang berada di peringkat tiga.
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, pemerintah menghabiskan dana yang besar untuk pendidikan agama di hampir 4.000 madrasah negeri di seluruh Indonesia. Dari total Rp 41,7 triliun rupiah yang dianggarkan untuk Kementerian Agama pada tahun 2012, sekitar Rp 31,5 triliun dialokasikan untuk pendidikan agama di bawah divisi Pendidikan Islam di kementerian tersebut. Sementara, pemerintah mengalokasikan Rp 66 triliun untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Presiden SBY telah berjanji untuk meningkatkan anggaran bagi pendidikan. Namun, dengan mewabahnya korupsi di Indonesia, janji ‘pendidikan berkualitas untuk semua’ terdengar kosong bagi banyak warga miskin yang bergantung pada pemerintah terkait pembiayaan sekolah.
Pendidikan masih menjadi sektor paling korup di Indonesia. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) 2011, kasus suap terbanyak berasal dari sektor pendidikan. Dari 436 kasus yang ditangani penegak hukum, 54 kasus, atau 12,4%, berhubungan dengan korupsi di sektor pendidikan.
Dari survei tersebut, ICW menemukan tingkat korupsi semakin parah seiring dengan meningkatnya anggaran pendidikan. Semakin besar anggaran, semakin besar angka korupsinya.
Yang paling menyedihkan dari kasus korupsi ini adalah, sebagian besar uang yang dicuri dialokasikan untuk warga miskin. Ini mencakup anggaran untuk dana bantuan operasional sekolah (BOS) dan dana bantuan sosial yang ditujukan untuk membangun gedung sekolah di wilayah-wilayah miskin dan terpencil di Indonesia.
Orang berada mampu mengabaikan masalah ini. Anak-anak dari keluarga kaya bisa menikmati sekolah swasta atau sekolah berstandar internasional, dengan kualitas pendidikan yang setara dengan sekolah-sekolah Singapura atau Shanghai. Anak-anak dari keluarga miskin tidak memiliki pilihan lain. Mereka seringkali harus berjalan jauh ke sekolah yang terkadang atap bangunannya sudah rubuh; guru matematika mereka sering tidak dapat mengajar karena terpaksa mengambil kerja sambilan; atau lembaran ujian mereka gagal terkirim karena tersangkut di bandar udara seringkali karena akal-akalan oknum korup atau petugas dinas pendidikan yang tidak kompeten.
Sangat disayangkan bahwa masalah-masalah yang menjangkiti sistem pendidikan muncul ketika Indonesia berharap untuk memanfaatkan apa yang disebut sebagaidemographic dividend. Hampir 60 persen jumlah penduduk Indonesia berada di bawah usia 40 tahun. Yang menjadikannya sebagai salah satu negara dengan profildemografi termuda di dunia. Dengan membengkaknya jumlah kaum muda, Indonesia memiliki potensi untuk melampaui statusnya sebagai negara berkembang dan menjadi negara yang siap bersaing. Namun jumlah kaum muda yang sebagian besar tidak terdidik serta kurang terdidik justru bisa berbalik menjadi sebuah bom waktu yang siap meledak manakala pertumbuhan ekonomi negara gagal mencitpakan lapangan pekerjaan bagi mereka.
Namun selalu ada harapan. Ketika pemerintah gagal melaksanakan tugasnya, rakyat siap menanggung beban tersebut. Indonesia adalah negara yang dikenal dengan nilai gotongroyong. Masyarakat memulai inisiatif mereka dengan melatih sejumlah pengajar muda yang mau dikirim ke daerah-daerah terpencil. Ada juga yang mendirikan sekolah dengan kurikulum alternatif yang berbeda dari versi kurikulum pemerintah, yang sengaja dibuat untuk mendekatkan murid dengan alam. Sejumlah tokoh pendidikan berpendapat kurikulum pemerintah tidak memberikan porsi yang cukup untuk sains dan matematika, mereka lantas mendirikan sekolah-sekolah yang melatih ilmuwan masa depan terbaik negara ini.
Sementara pengagas pendidikan lainnya memanfaatkan kuatnya pengaruh internet dan media sosial. Awal tahun ini, sebuah situs didirikan untuk menampung keluhan-keluhan mengenai gedung sekolah mana yang membutuhkan perbaikan, atau di sekolah mana penyelewengan dana terjadi. Mereka yang melek teknologimenggunakan Twitter dan Facebook untuk memobilisasi sukarelawan membuka kelas di berbagai daerah, mengajar murid tentang hal-hal yang tidak diajarkan oleh guru mereka, yang bergaji rendah.
Di sebuah tempat di mana rakyat terbiasa mendengar janji surga, hal-hal seperti itu memberik secercah harapan.
Anies Baswedan adalah Rektor Universitas Paramadina di Jakarta dan salah satu tokoh reformasi pendidikan. Ia menjadi pengagas gerakan “Indonesia Mengajar”.  Ini adalah kolom opini yang diterjemahkan dari versi asli yang ditulis dalam Bahasa Inggris dan diterbitkan di www.online.wsj.com–http://indo.wsj.com/posts/2013/10/09/tantangan-dunia-pendidikan-di-indonesia/
Read More ->>

Kamis, 12 Juni 2014

PENTINGNYA PENERAPAN BAHASA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR Amir Kusno

PENTINGNYA PENERAPAN BAHASA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR
Amir Kusno


(Amirkusno@rocketmail.com)
                                                                                                                                     
A.      Pentingnya Penerapan Bahasa Indonesia Yang Baik Dan Benar
Seperti yang kita ketahui, negara Indonesia adalah negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Setiap suku bangsa mempunyai perbedaan dalam bahasa dan kebudayaannya. Maka diperlukan sebuah alat yang mampu mempersatukan perbedaan yang ada. Salah satunya adalah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia bagi kita merupakan suatu karunia Tuhan, karena adanya bahasa itu sekaligus telah melenyapkan persoalan bahasa nasional, yang sangat pelik dan gampang menimbulkan masalah kedaerahan (Samsuri, 1981:27).
Ditegaskan dalam sumpah pemuda 28 Oktober 1928 yang menyatakan “kami putra dan putri indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.” Sumpah ini membuktikan bahwa pengakuan bertanah air satu, berbangsa satu Indonesia dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa indonesia, memiliki fungsi yang luar biasa dalam mempersatukan dan mengembangkan kepribadian bangsa.
Fungsi tersebut menegaskan bahwa setiap warga negara Indonesia senantiasa berkepribadian, berperilaku, dan berbudi bahasa khas Indonesia. Dampaknya, persatuan para pemuda yang terpisah-pisah dalam suatu organisasi pemuda yang bersifat kedaerahan menyatakan tekatnya yang bulat untuk bersatu sebagai pemuda Indonesia dan menggunakan bahasa Indonesia dalam setiap komunikasi nasional (Setyawati 2010:2).
Bagaimana agar penggunaan bahasa Indonesia sebagai  bahasa persatuan menjadi sangat efektif. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dapat menjadi batu duga sifat kecendekiawannya. Seseorang yang berbicara dengan baik dan cermat, dengan memperhatikan struktur kalimat yang bagus, akan dipandang sebagai seseorang yang berwawasan luas. Dan bagi seorang mahasiswa atau pengajar yang berbahasa dengan cukup cermat, ternyata dari struktur kalimat yang rapi, pilihan kata yang tepat, serta pilihan ragam bahasa yang tepat, serta pilihan ragam bahasa yang sesuai konteks bicara, akan di pandang sebagai seorang yang cendekiawan. Selain itu dia juga berwawasan yang luas tentang kehidupan. Karena itu, dia dapat menempatkan diri lewat bahasa dan tingkah laku berbahasa (Widjono Hs, 2012: 2).
Penerapan bahasa Indonesia yang baik dan benar sangatlah penting. Dewasa ini masalah terbesar yang berkenaan dengan kemajuan bahasa Indonesia ialah menjadikannya sebagai bahasa yang dapat dipakai dan dipahami oleh seluruh rakyat Indonesia dari semua pelosok negeri dan semua lapisan sosial (Elieva, 1991:10). Pada kenyataannya, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar pada jaman sekarang telah mengalami banyak penurunan. Contoh yang paling sederhana, yaitu : Banyaknya generasi  muda bangsa yang terbiasa mengetik status atau sms seperti, “met maem” atau “aq gie cibuk” seharusnya tulisan yang benar, yaitu : “selamat makan” dan “aku lagi sibuk”. Padahal tidak semua orang mengerti tulisan singkatan seperti itu. Berikut adalah contoh bahasa tulis yang sedang menjadi tren pada remaja Indonesia.
                                 
1.    Menggunakan angka untuk menggantikan huruf. Contoh: 4ku ciNT4 5 K4moe (Aku  cinta kamu).
2.     Kapitalisasi yang sangat berantakan. Contoh: IH kAmOE JaHAddd (ih kamu jahat).
3.     Menambahkan “x” atau “z” pada akhiran kata atau mengganti beberapa huruf seperti     “s” dengan dua huruf tersebut dan menyelipkan huruf-huruf yang tidak perlu serta merusak EYD atau setidaknya bahasa yang masih bisa dibaca. Mengganti huruf “s” dengan “c” sehingga seperti balita berbicara. Contoh:, “xory ya, becok aQ gx bica ikut.”
4.     menggunakan singkatan-singkata kata : semangka (semangat kaka), stw (santai  wae), otw ( on the way).
5.      mengubah huruf vokal atau konsonan  menjadi kata yang bernada lebih  rendah : semangat – cemungud.
6.     Menganti huruf dengan angka maupun tanda-tanda dalam bacaan. Contoh huruf
 i diganti !/1 (pap!).
Read More ->>
Read More ->>
Diberdayakan oleh Blogger.

Recent Post

Comments