ISU KRITIS PENDIDIKAN DI INDONESIA
Dr. Sukardi Weda, S.S., M.Hum., M.Pd., M.Si.
Dosen UNM & Komisioner KPID Sulsel
Gema reformasi dikumandangkan oleh para mahasiswa dan pemuda di Indonesia tepatnya tahun 1998 yang sempat menelan korban jiwa dan tidak sedikit harta benda yang melayang akibat chaos yang terjadi di sejumlah daerah. Teriakan pembaruan tersebut dilakukan oleh mahasiswa, pemuda, dan elemen bangsa lainnya karena mereka menganggap bahwa penguasa tidak lagi konsisten memperjuangkan amanat rakyat.
Namun setelah 12 tahun teriakan reformasi menggelora, Indonesia kini masih memiliki sejumlah persoalan kebangsaan dan kemasyarakatan yang tidak mudah untuk diselesaikan, baik untuk tingkat regional maupun nasional. Salah satu persoalan yang hingga kini masih mendera bangsa Indonesia adalah isu seputar kebijakan pendidikan. Pendidikan di Indonesia tidak mampu menghasilkan alumni yang siap kerja, para lulusan tidak memiliki kualitas yang dapat diandalkan, para tamatan SMU/SMK dan Perguruan Tinggi tidak memiliki kecerdasaan dan kemampuan kewirausahaan (enterpreneurship), dan para Perguruan Tinggi gagal merubah perilaku para mahasiswa. Lulusan SMU/SMK dan Perguruan Tinggi tidak siap memenuhi kebutuhan masyarakat dan dunia kerja.
Di beberapa tempat, Ujian Nasional (UN) masih menyisakan banyak persoalan dari tahun ke tahun, akibat makin menurunnya tingkat kelulusan dan kualitas lulusan (siswa), dan terjadinya banyak penyimpangan oleh kepala sekolah, guru dan siwa dalam UN. Dengan demikian, para lulusan LPTK tersebut yang tidak siap menjadi warga negara yang bertanggungjawab dan produktif, akhirnya hanya jadi beban masyarakat (Arcaro, 2006). Selanjutnya Arcaro mengatakan bahwa para siswa itu adalah produk sistem pendidikan yang tidak terfokus pada mutu, yang akhirnya hanya memberatkan anggaran kesejahteraan sosial, dan pada akhirnya mereka menjadi warga negara yang merasa terasing dari masyarakatnya.
Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia merupakan akumulasi dari sejumlah faktor, antara lain: guru yang tidak berkualitas, fasilitas pendidikan yang kurang mendukung, perpustakaan dan laboratorium yang tidak dilengkapi dengan peralatan yang memadai, kepemimpinan kepala sekolah yang tidak efektif, dan rendahnya minat/motivasi siswa untuk belajar. Pendidikan yang rendah tersebut berimplikasi pada rendahnya kualitas Sumber Daya Manuasia (SDM) Indonesia. SDM yang rendah juga berbanding lurus dengan kemiskinan dan ketidakmakmuran penduduk, yang berujung pada kesengsaraan dan penderitaan rakyat.
Pendidikan yang tidak bermutu hanya menghasilkan manusia yang cerdas dari sisi olah pikir (kognitif), tapi tidak cerdas untuk sisi sosial, emosional, dan spiritualnya (alias perilakunya menyimpang), sehingga yang terjadi adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Mereka hanya memikirkan dan memperkaya diri dan kelompoknya, dan meninggalkan kaum papa yang mengharapkan uluran tangan mereka. Pendidikan yang tidak berkualitas hanya menghasilkan manusia-manusia pintar yang hanya pintar membodohi sesamanya, dan cerdas merampok bangsa dan negaranya.
Isu Kritis Mutu Pendidikan di Indonesia
Seperti disebutkan di atas bahwa dewasa ini muncul berbagai isu kritis perihal mutu (layanan) pendidikan di Indonesia. Isu-isu kritis tersebut berada pada tataran mikro, mezo dan makro. Secara Mikro, ada sejumlah isu/persoalan kritis yang muncul di sekolah dalam kaitannya dengan mutu (layanan) pendidikan. Isu-isu tersebut diataranya adalah kualitas, kompetensi dan komitmen guru (tenaga pengajar) yang masih rendah, terbatasnya alat bantu belajar (learning aids) di kelas dan laboratorium, minimnya buku pelajaran dan referensi di perpustakaan, dan rendahnya tingkat kesejahteraan guru. Hal ini diperkuat oleh BPS, BAPPENAS, dan UNDP dalam Weda (2007) bahwa dewasa ini banyak sekolah yang tidak dilengkapi dengan peralatan, dan buku pelajaran yang memadai, bahkan di sekolah dasar tercatat sekitar setengah guru SD yang tergolong tidak berkualitas.
Secara mezo, kemampuan kepala sekolah dalam mengelolah sekolah masih rendah. Hal ini sejalan dengan pendapat Sagala (2006: 176) bahwa kepala sekolah belum responsif terhadap tuntutan dinamika perubahan yang terjadi, banyak aktifitas sekolah berlangsung by the way bukan by design dengan ciri perencanaan yang memprihatikan. Ukuran keberhasilan sekolah tidak terlepas dari profesionalisme dan kepemimpinan (leadership) kepala sekolah untuk mengelolah sekolah. Ia juga diharapkan dapat menjalin kerjasama, komunikasi dan kordinasi yang baik dengan seluruh stakeholder sekolah, mulai dari stakeholder internal (guru, tenaga administrasi) hingga stakeholder pendidikan yang sifatnya eksternal seperti pemerintah (Dinas Pendidikan), para donor (penyandang dana), komite sekolah, siswa dan orang tua siswa. Dengan demikian, maka akan tercipta sistem manajemen struktural pendidikan dasar yang baik.
Secara makro. Peran pemerintah melalui kebijakannya di bidang pendidikan sangat menentukan keberhasilan pencapaian mutu layanan pendidikan di sekolah. Jumlah dana/anggaran yang dialokasikan kepada pendidikan melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) masih menuai berbagai persoalan. Demikian halnya program pendidikan gratis di sejumlah daerah (sebagai contoh program pendidikan gratis di Sulawesi Selatan) dinilai oleh banyak kalangan tidak dapat menghasilkan pendidikan yang bermutu. Guru mengeluh, kualitas pendidikan terancam, demikian judul tulisan yang dimuat di salah satu halaman harian Fajar bertajuk Menggugat Pendidikan Gratis (Fajar, 13 Oktober 2008). Permasalahan tersebut adalah akibat minimnya dana BOS dan terbatasnya dana dari program pendidikan gratis dari Pemerintah Propinsi dan Daerah, dan keterlambatan penyaluran dana tersebut. Masalah kritis ini berdampak pada kegiatan kesiswaan di sekolah, dan antusiasme guru untuk mengajar mengalami penurunan karena mereka juga tidak memperoleh tambahan penghasilan yang memadai. ”Yang pasti, setelah program pendidikan gratis ini berjalan, sebulannya kami kehilangan pendapatan hingga Rp. 500 ribu,” keluh salah seorang guru (Fajar, 13 Oktober 2008). Dengan minimnya anggaran pendidikan tersebut, maka seyogyanya pemerintah terus berupaya untuk merealisasikan anggaran pendidikan minimal 20% sehingga mutu layanan pendidikan dapat terwujud, sebagaimana diamanatkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Peran Pemerintah dan Civil Society
Untuk mengatasi isu kritis perihal mutu (layanan) pendidikan, maka pihak-pihak terkait antara lain pemerintah,Civil Society, dan seluruh stakeholder di bidang pendidikan perlu bersinergi untuk mencari langkah-langkah strategis pencapaian mutu layanan pendidikan seperti diamanatkan oleh Pasal 31 Amandemen UUD 1945, Pasal 28 Konvensi Hak Anak (KHA), dan Pasal 12 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang sekaligus menjadi arah dan dasar kebijakan pendidikan nasional.
Langkah-langkah yang perlu diambil pada skala mikro adalah peningkatan kualitas tenaga kependidikan, dan peningkatan sarana-prasarana pendukung pembelajaran di sekolah. Pada skala mezo, perlunya penerapan manajemen pendidikan di sekolah berdasarkan prinsip manajemen berbasis sekolah (MBS) yakni dengan peran serta kepala sekolah, komite sekolah, dan masyarakat dalam bingkai otonomi pendidikan.
Untuk tingkat makro, pemerintah selaku pembuat kebijakan di bidang pendidikan harus memposisikan pendidikan tidak kalah pentingnya dengan bidang-bidang yang lain seperti ekonomi, politik dan lain-lain. Hal ini cukup beralasan karena secara sosiologis, pendidikan merupakan salah satu pranata sosial dan merupakan pilar untuk terciptanya masyarakat madani yang demokratis dan beradab. Dengan demikian, untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, maka isu-isu tentang anggaran pendidikan melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dinilai masih jauh dari harapan, segera ditingkatkan jumlahnya, sehingga sekolah dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan kesiswaan (KBM) dengan baik.
Strategi Mengimplementasikan Peran: Sebuah Agenda Aksi
Strategi yang dapat dilakukan oleh para stakeholder pendidikan, baik guru/dosen, praktisi pendidikan, komite sekolah, dewan pendidikan hingga masyarakat/dunia usaha melalui program tanggung jawab sosial (CSR) untuk berperan serta dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut: i) Menjadi tenaga advokasi dan pendamping dalam dunia pendidikan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan, khususnya tentang mutu pendidikan yang dari hari kehari menampakkan hasil yang kurang menggembirakan, ii) Menjadi mitra pemerintah untuk mencari jalan keluar terhadap persoalan-persoalan pendidikan, baik pada tingkat lokal, regional, maupun nasional, iii) Bersama-sama dengan stakeholder pendidikan lainnya (kepala sekolah, guru, orang tua murid/siswa, anggota komite sekolah, dan masyarakat lainnya) untuk memikirkan solusi alternatif terhadap isu-isu kritis dalam pendidikan, iv) Melakukan kajian-kajian atau telaah kritis, dan hasil kajian atau telaah tersebut disampaikan kepada pengambil kebijakan (pemerintah dan pemerintah daerah), v) Menyelenggarakan pendidikan non formal, pelatihan, workshop,roundatable discussion, seminar, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang dapat meningkatkan kompetensi baik kepada guru maupun siswa, vi) Bekerjasama dengan lembaga lain yang memiliki perhatian, kepedulian, dan minat yang sama untuk senantiasa memikirkan pendidikan yang bermutu, dan mencari jalan keluar terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa dalam hal mutu pendidikan yang rendah, vii) Memberikan dukungan kepada pemerintah terhadap gerakan-gerakan peningkatan kualitas peserta didik dan masyarakat, seperti Gerakan Membaca, sumbangan buku-buku bekas berkualitas, dan lain-lain, dan viii) Mengambil inisiatif dan memelopori segenap pembaruan dan implementasi kebijakan pendidikan kearah yang lebih baik.